Dulu Kuli Panggul Ikan Kini Punya Studio Foto Beromzet Rp 500 Juta

#InspirasiKita

Merdeka.com - Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Peribahasa ini cocok menggambarkan perjuangan Hamka Alwi, pemuda kampung asal Toli-toli Tengah, Sulawesi Tengah.

Hidup dari keluarga pas-pasan karena ayahanda cuma kuli panggul ikan, membuatnya harus berjuang demi mewujudkan masa depan yang lebih indah. Caranya, dia coba membuat usaha dari hobi yang dia miliki, yakni fotografi.


Untuk meyakinkan diri sebelum menggeluti profesi ini, lebih dulu Hamka coba-coba mengedit foto usang miliknya. Dia meminjam perangkat komputer temannya. Merasa hasilnya cukup baik, dia mulai berani menerima order dari luar.

Di sela kegiatannya menjadi asisten di salah satu pusat kursus komputer di Tarakan, sekitar tahun 2002 dia coba membuka studio kecil yang diberi nama Azka Home Editing. Saat itu, orderan pertama datang dari warga yang hendak menggelar hajatan nikahan.

Selesai memotret, ada kesalahan fatal yang dilakukan Hamka. Dengan kemahiran minim Hamka seenaknya menarik rol-rol film dari kamera analog di ruangan terbuka hingga film terbakar dan rusak.

Pelanggan marah padanya, dia dianggap tak profesional. Dia pun merasa sangat bersalah. Tapi dari situlah dia justru punya mimpi yang lebih besar. Ketidakpercayaan dan kemarahan pelanggan, katanya, jadi pengalaman paling berharga. Apalagi, karena kejadian itu, reputasi buruk langsung menempel saat namanya disebut, bahkan beberapa calon klien yang sempat mengorder kabur.

"Jangan pernah kecewakan pelanggan," kata Hamka dalam buku Rhenald Kasali Wirausaha Muda Mandiri terbitan Gramedia 2012.

Kegagalannya saat itu, lanjutnya, seolah membawa ide segar untuk lebih maju. Kepada kakaknya, dia meminta uang untuk bekal menuntut ilmu fotografi di Jakarta tepatnya di Studio Foto Darwis Triadi. Semula pinjaman itu berat sekali dia dapat. Tapi melihat keseriusan Hamka, sang kakak rela menggadaikan perhiasannya agar Hamka bisa terbang ke Jakarta dan mendaftarkan diri di Darwis Triadi.

"Saat itu, Darwis Triadi yang selama ini saya lihat di koran dan televisi, kini ada di hadapan saya, mengajari saya tentang ilmu fotografi," kenang Hamka pada masa lalunya sekitar 7 tahun lalu.

Sebagai anak kampung dari daerah, Hamka hidup apa adanya di Jakarta. Ia menumpang di tempat teman. Singkat cerita semua kelas fotografi rampung dia lalui, dan Hamka mendapatkan lulusan terbaik dan menyandang gelar Terbaik I.

Hasil maksimal ini dia jadikan bekal melanjutkan usahanya yang sempat terpuruk kerena keteledorannya. Meski mengenyam ilmu di Jakarta, melihat hiruk pikuk kota metropolitan, Hamka memutuskan balik ke kampung halaman dan membuka usaha di sana. Apalagi, katanya, Tarakan belum ada usaha studio foto. Ilmu yang didapat coba dia terapkan dengan konsep foto studio yang lebih baik lagi.

Benar saja, berbekal ijazah yang dia miliki dari Darwis Triadi School of Photography, Tuhan seolah membuat jalan menjadi mudah. Pelanggan mulai berdatangan dan dia memutuskan membuka foto studio Bornis Studio di Grand Tarakan Mal, salah satu pusat perbelanjaan ternama di kota itu.

Hamka jeli melihat peluang bisnis. Dia langsung mendapat sambutan baik dari warga Tarakan. Melihat desakan pelanggan, Hamka kembali membuka tujuh gerai foto studio, seperti di Nunukan, Bulungan, Malinau dan Berau. Semuanya terletak di Kalimantan Timur.

"Tekad saya, mengembangkan hingga 500 gerai," ucapnya bermimpi.

Tak cuma warga, kini orderan foto juga datang dari pejabat hingga pengusaha di Tarakan. Boleh dikatakan, di kampungnya di Tarakan, reputasi Hamka dan usaha yang dia jalankan sudah tak perlu diragukan lagi.

"Bolak balik naik pesawat tanpa bayar tiket sendiri bisa saya lakukan sekarang, padahal waktu kecil saya sempat terinjak paku karena selalu melihat ke atas sambil melambaikan tangan ke pesawat terbang sampai berteriak kegirangan. Saat itu saya ingin bisa merasakan terbang dengan pesawat menembus awan. Sebuah impian yang saat itu mustahil, tapi kini Alhamdulillah saya berhasil merasakannya hingga berulang kali," kenang pria kelahiran Tol-toli ini.

Kini dia tinggal memupuk dari usaha kerasnya dulu. Omzet Rp 2,52 miliar dengan keuntungan bersih Rp 588 juta per tahun sudah dia dapat. Tak cuma itu, dia pun sudah punya 48 pegawai, soal deretan prestasi sebagai wirausahawan sudah dia sandang.

Kadang Hamka masih tak percaya dengan keberhasilannya kini. Apalagi, bila melihat masa kecilnya, dia hanya pemuda yang sehari-hari membantu ayahnya menjadi buruh angkut ikan di Toli-toli. Dia pun pernah diusir dari rumah karena menolak terus menjadi buruh ikan dan ingin punya pendidikan yang lebih baik.

"Dulu, mulai dari kuli panggul di pelabuhan, tarik gerobak, melaut, jualan kue keliling, menjadi pemulung, penyewaan VCD dan playstation, penyewaan komik hingga menjadi salesman pun saya kerjakan demi menyambung hidup dan tetap bersekolah. Bukan untuk mencari uang ataupun gelar tapi agar saya menjadi manusia pintar," beber Hamka.

"Tapi kekuatannya terletak pada ketekunan bekerja keras, karena dia percaya hanya dengan bekerja keras maka kesuksesan dapat diraih," pungkasnya.

Subscribe to receive free email updates: