Patricia Deandra, Kartini Muda Pembelah Angkasa

Patricia Deandra, pilot cantik
#InspirasiKita #HariKARTINI

Beberapa tahun belakangan, profesi pilot makin terbuka dan diminati perempuan. Salah seorang peminatnya adalah Patricia Herwita Christabel Agatha Ayu Deandra. Dia dipercaya Garuda Indonesia untuk mengendalikan pesawat di usianya yang masih belia.


Laporan Bayu Putra, Jakarta


’’DI sini pilot Patricia Deandra. Saat ini Anda terbang menuju Samarinda. Selamat menikmati penerbangan bersama Garuda Indonesia.’’ Kalimat tersebut sering kali diucapkan Dea, sapaan akrab pilot muda tersebut, ketika menerbangkan pesawat ATR 72-600 yang melintasi rute di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

Perempuan 21 tahun itu mengakui, belum banyak perempuan yang menekuni profesi pilot. Karena itu, tidak sedikit penumpang yang kaget tatkala mengetahui bahwa pesawat yang mereka naiki diterbangkan perempuan.

Hal itu biasanya ditemui ketika sesekali dia keluar dari kokpit untuk ke toilet atau beberapa saat setelah pesawat mendarat. Saat itulah Dea bisa bertemu dan menyapa para penumpang. ’’Penumpang juga sempat kaget, ih, cewek ternyata,’’ ucapnya, lantas tersenyum.

Menekuni profesi pilot bukan keinginan awal pilot termuda Garuda Indonesia tersebut. Bahkan, tidak terpikir sebelumnya meski ayahnya adalah pilot. Dia sama sekali belum menentukan tujuan pascalulus dari SMA Tarakanita Tangerang pada 2012. Dea juga sempat menganggur beberapa bulan hingga akhirnya mencoba flight simulator di dekat kediamannya di Tangerang.

Dari situlah, Dea mulai tertarik untuk menerbangkan pesawat. Dia juga mulai memahami profesi yang juga dilakoni ayahnya tersebut. Dalam benak Dea yang saat itu masih 18 tahun, pekerjaan pilot sangat seru. ’’Jatuhnya ke hobi, bukan pekerjaan karena ada seni tersendiri,’’ ungkap Dea ketika ditemui di kompleks Garuda City Center (GCC) pada 24 Maret lalu.

Saat ini dara yang baru berulang tahun ke-21 pada 25 Maret lalu itu mengantongi sekitar 100 jam terbang. Dia baru terbang dengan pesawat ATR awal Februari lalu. Saat masih bersekolah di Denpasar, dia mengantongi sekitar 150 jam terbang.

Rute pertama Dea adalah Medan–Gunung Sitoli di Sumatera Utara. Dia sangat gembira dan bersemangat. Kala itu untuk kali pertama Dea mengemudikan pesawat besar. Saat masih bersekolah, dia hanya menerbangkan pesawat Cessna bermesin tunggal.

Karena baru kali pertama memegang ATR, Dea merasa banyak sekali yang harus dikerjakan. Persiapan penerbangan ternyata sangat banyak dan beragam. Mulai cuaca, kondisi pesawat, hingga komunikasi dengan menara kontrol. ’’Overall seru dan saya menikmati,’’ lanjut putri pasangan Kapten Pilot Heri Susatyo Sasono dan Caritas Catrimurni itu.

Meski begitu, pekerjaannya tidak lantas berjalan mulus mulus. Dea mengisahkan pengalaman menerbangkan pesawat ke Kalimantan Timur. Kala itu dia harus menerbangkan pesawat dari Balikpapan menuju Berau saat malam dalam kondisi cuaca buruk.

Menurut Dea, cuaca saat itu terbilang ekstrem. Sepanjang perjalanan, hujan turun dengan derasnya. ’’Awan dan petirnya banyak, pesawat waktu itu bergoyang (turbulensi) kenceng banget,’’ tuturnya. Untung, sistem autopilot pesawat tidak sampai disengage (mati atau tidak berfungsi).

Kemudian, ketika akan landing di Berau, visibility (jarak pandang) kurang dari 4 kilometer dan di sekitar landasan masih penuh awan. ’’Jadi runway-nya nggak kelihatan dan kondisinya basah, itu ngeri banget menurut saya,’’ lanjut sulung di antara dua bersaudara tersebut.

Setelah menceritakan kondisi penerbangan, Dea tersenyum ketika ditanya tentang apa yang ada dalam pikirannya saat itu. ’’Saya takut mati,’’ ucapnya. Yang jelas, sembari berusaha mengendalikan pesawat, lantunan doa terus terucap dari bibirnya. Sejak belajar di sekolah penerbangan di Denpasar, dia didoktrin untuk tidak panik dalam kondisi seburuk apa pun.

Doktrin itu menjadi modal positif Dea untuk mendaratkan pesawat dengan selamat di Berau. Apabila panik, dia tidak akan bisa berpikir apa yang harus dilakukan saat berada dalam kondisi semacam itu.

Untuk saat ini, Dea mengatakan masih menikmati penerbangannya bersama pesawat ATR. Dalam setahun ke depan, dia sebenarnya memiliki kesempatan bersekolah lagi untuk menjadi pilot pesawat jet. Namun, Dea belum berpikir untuk langsung pindah pesawat. ’’Saya itu orangnya fokus,’’ ujarnya. Dia akan terus menggeluti ATR sampai kemampuannya benar-benar teruji. Apabila ada kesempatan untuk pindah pesawat, Dea memilih airbus. ’’Pada dasarnya airbus dan ATR hampir sama,’’ tambahnya.

Dea mengatakan profesi di bidang yang belum mainstream bagi perempuan. Khusus di profesi pilot, dia harus membuktikan bahwa perempuan juga bisa mengendalikan pesawat. Apalagi, hingga saat ini belum banyak perempuan yang menjadi pilot.

   Data dari Asosiasi Penerbang Perempuan Indonesia menunjukkan, jumlah perempuan yang melakoni profesi pilot masih minim. Saat ini asosiasi tersebut beranggota 123 pilot perempuan. Sebagian besar masih berstatus siswa. Yang sudah bekerja di maskapai berjumlah 38 orang. Jumlah tersebut termasuk pilot militer sebanyak lima orang.

   Dea mengakui, menjadi pilot memang tidak mudah bagi perempuan. Saat seleksi pilot, sangat sedikit perempuan yang diterima. Di angkatannya saja hanya ada dua, termasuk dirinya. ’’Biasanya perempuan gagal waktu tes bakat,’’ tuturnya. Saat tes bakat, calon pilot dihadapkan pada sebuah simulator dan kemampuan motoriknya benar-benar diuji. Saat itulah banyak yang bertumbangan. Sebab, saat terbang, pilot harus bisa melakukan banyak pekerjaan sekaligus.

Yang jelas, untuk melakoni profesi-profesi spesifik seperti pilot, seorang perempuan harus berani dan mandiri. Apabila takut ketinggian, misalnya, lebih baik perempuan tidak mendaftarkan diri untuk seleksi pilot. Dea pernah menjumpai satu kasus calon pilot perempuan yang takut ketinggian. Alhasil, saat tes terbang, dia selalu gagal.

Kedisiplinan juga penting bagi pilot. Makan dan tidur harus tepat waktu karena jadwal terbang tidak bisa disamakan dengan jam kantor pada umumnya. Tidak jarang selepas subuh, dia dijemput karena sudah waktunya terbang. Kadang dia juga harus membawa pesawat di penerbangan terakhir menjelang tengah malam.

Dea juga mengagumi Kartini, khususnya dalam hal kemandirian. Sejak kecil, Dea terbiasa mengerjakan segala sesuatunya sendiri meski ada teman-temannya yang menawarkan bantuan. ’’Karena ngerjain kerjaan cowok, semua harus bisa diatasi sendiri,’’ katanya.

Pada dasarnya perempuan itu sama dengan laki-laki sesuai porsi masing-masing. Karena itu, lanjut Dea, ketika perempuan bisa melakoni pekerjaan yang mainstream laki-laki, dia bisa dikategorikan perempuan hebat. ’’Kadang ada teman yang bilang, kalau cewek jadi pilot, terus yang cowok jadi apa,’’ tambahnya. (byu/c7/ai)

JPNN.COM

Subscribe to receive free email updates: