Menjajal kendaraan dinas Kepala Lapas Madiun. FOTO: Siswo Widodo/AntaraFOTO. |
#InspirasiKita #KopiPagi #Jum'atBAROKAH
Oleh Siswo Widodo,
Wartawan Senior ANTARA
MAKNA KESUKSESAN – membaca status fesbuker (seorang pelukis), sy jd tergelitik. Suatu hari saat ia sedang melukis, tiba-tiba lewat adik kelas waktu di bangku kuliah dan menyapa: "eh … (nyebut nama pelukis itu, maaf tdk sy sebutkan namanya),
elo masih gini aja ya ternyata..., gw baru pulang dari singapore... nih kenalin suami gw". terkesan sombong dan merendahkan, seorang junior belasan th tidak pernah ketemu kpd seniornya manggil ‘njangkar’.
elo masih gini aja ya ternyata..., gw baru pulang dari singapore... nih kenalin suami gw". terkesan sombong dan merendahkan, seorang junior belasan th tidak pernah ketemu kpd seniornya manggil ‘njangkar’.
Pamer pernah ke singapura, merendahkan profesi pelukis.---terkecuali kalo memang sdh berteman akrab dan suka berkelakar, mungkin masih wajar. atau kalau sekadar cerita pulang dari luar negeri sih, sy kira msh wajar juga asal tidak dg nada sombong, riya’ dan merendahkan orang lain. Krn salah satu diantara sifat buruk manusia (termasuk sy) itu ya memang suka pamer.
Perempuan itu mungkin menganggap bahwa pernah ke singapura merupakan parameter kesuksesan seseorang. Maka orang pernah pergi ke singapura itu dianggap lebih sukses ketimbang orang yg belasan th bergelut dg dunianya, melukis, dan belum pernah ke singapura. Sy jg belum pernah ke singapura, shg blum tau seberapa banyak biaya dibutuhkan utk jalan2 ke singapura. Tp sy yakin, dg menjual 1-2 lukisan sj, pelukis tsb bs jalan2 ke negeri singa. Mengapa sy yakin? Krn ia pelukis yg karya2nya menurutku cukup bagus. Banyak foto lukisan (terutama cat air) yg diunggah di fesbuk, sy unduh dan sy simpan di folder utk sy nikmati. Konon, jalan2 ke singapura bukanlah perjalanan mahal. Kalau sj sy membolehkan, masa liburan semester bbrp waktu lalu, anak sy yg baru 6 bulan kuliah di bali jg sdh sampai singapura. Bahkan sekitar 2 th lalu, sy membeli buku berjudul “Rp 500 ribu Keliling Singapura” yang ditulis Claudia Kaunang, atas permintaan anak sy. Waktu itu dia masih SMA dan merencanakan perjalanan ke singapura, tp krn tabungannya habis utk beli kamera, rencana itu batal.
Di desa tempat kelahiran sy, banyak sekali orang berada di luar negeri bertahun2, termasuk di singapura. Setelah 2 hingga 4 kali berangkat ke luar negeri (sekali berangkat biasanya untuk masa 2 th tinggal di sana), pulang membangun rumah dan membeli tanah. Tp mereka tidak pernah menyombongkan diri, bahwa dia pernah pergi dan tinggal bertahun2 di luar negeri.
Seorang fotografer gaek (75 tahun), yang sangat terkenal di negeri ini, sudah menjelajah berpuluh2 negara. Orangnya bersahaja sekali, suka berjalan kaki dan bersepeda. Kalau datang ke sejumlah daerah, dia pilih tidur di kampus tempat sejumlah mahasiswa ngumpul ketimbang di hotel. Makan di kedai sederhana, juga sering di warung kaki lima. Saya pernah memergoki dan memotret dia saat potong rambut di pasar, bukan di salon. Kalau tampil jadi pembicara tidak pernah menyombongkan diri tentang seringnya dia jalan2 ke luar negeri, atau kemudian merendahkan audien krn belum pernah ke luar negeri. Kalau cerita tentang perjalanannnya ke luar negeri, dia lebih banyak berbagi tentang karyanya. Kemudian foto2 yang di-share itu mengundang decak kagum. Banyak fotografer mengidolakannya bukan krn dia sering ke luar negeri, tp krn karya dan integritasnya. Tak peduli dia tidur di mess kampus, makan di kaki lima, bersepeda, jalan kaki. Untuk mengidolakan fotografer senior itu, mereka tidak pernah menanyakan terlebih dahulu apakah dia punya rumah mewah atau sederhana, punya mobil atau sepeda butut. Tp orang tahu, fotografer tersebut hidupnya bermanfaat dan suka berbagi dg sesama.
Sebagian besar masyarakat di desa tempat kelahiran sy punya ukuran sendiri untuk menilai kesuksesan seseorang. antara lain, bila mereka mudik mengendarai mobil. dan dinilai lebih sukses lagi bila kemudian fasih bercerita bahwa dia punya rumah bagus, jabatan, pengaruh, kewenangan dan kekuasaan di tempat dia bekerja. Itu bisa menjadi prestise social bagi keluarga dan familinya yg tinggal di desa. Nah orang seperti sy tentu sama sekali tak masuk kategori orang sukses. Krn belum bermobil, blm punya rumah bagus, belum punya jabatan, belum punya kekuasaan, belum punya kewenangan, belum berpengaruh.
Bicara soal mobil dan rumah, sy jd teringat seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) yang sangat terkenal yang hanya berjarak sekitar 10 km dr desa kelahiran sy. Meski ponpes yg dia asuh (termasuk cabang2nya) telah meluluskan jutaan santri, dia blum punya rumah dan mobil pribadi. Dia tinggal di rumah ‘dinas’ ponpes, jg naik mobil ‘dinas’ ponpes. Suatu malam, mobil ‘dinas’ yg diparkir di garasi rumah ‘dinas’ hilang.---akhirnya diketahui pencurinya adalah jebolan ponpes tersebut. Dia sengaja meninggalkan kunci kontak mobil tetap di mobil, krn dia merasa itu bukan mobilnya, sehingga pengasuh ponpes yg lain punya hak yg sama atas mobil tersebut.
Jadi teringat jg seorang profesor yg menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi ternama. Meski terlah berhasil mencetak ribuan sarjana, namun hingga akhir hayatnya dia masih tinggal di rumah dinas dosen, krn blum punya rumah, jg blum punya mobil.
Apakah pimpinan ponpes dan professor yg sy sebut itu termasuk orang sukses atau tidak? Tergantung paramaternya...