Azrul Ananda |
AZRUL ANANDA
Dirut Jawa Pos Koran
LIHAT dan perhatikan orang-orang di sekeliling kita. Mereka punya hobi yang diseriusi tidak? Kalau sampai tidak punya hobi, mungkin kita bisa menjadikan itu sebagai warning sign.
***
Saya menyalahkan orang tua kalau bicara soal hobi. Salah mereka –khususnya abah– yang selalu membiarkan saya melakukan apa saja semau saya, menekuni apa saja yang saya suka, dan ’’mementokkan’’ segala hal yang saya jalani.
Pokoknya harus serius. Pokoknya harus tuntas. Pokoknya harus bertanggung jawab sendiri kalau ada apa-apa.
Dulu waktu SD, tidak mau sekolah pun dibiarkan. Maunya main sepak bola setiap hari dibiarkan.
’’Tidak apa-apa tidak sekolah,’’ kata abah. ’’Banyak kok pemain bola yang jadi kaya. Yang penting serius,’’ tandasnya (walau dia pernah sekali memastikan saya masuk sekolah dengan mengantarkan sendiri dan bawa sabuk, wkwkwkwkwkwk…).
Sejak kecil, saya benar-benar dibiarkan menjalani segala hobi (atau rasa penasaran) sampai tuntas.
Suka sepak bola? Waktu SD ya bikin tim sendiri dengan teman-teman se-RT atau RW, suka menantang anak-anak dari kawasan atau kampung lain, lalu tanding home atau away.
Ada seragamnya. Ada official becak-nya, yang selalu membantu membawakan tiang gawang atau peralatan lain. Ya, kami punya gawang sendiri, yang dibawa ke mana-mana just in case lapangan lawan tidak ada gawangnya.
Gawang dibuat dari tumpukan kayu di rumah teman, yang kemudian kami sadari ternyata adalah ranjang tidur kayu jati milik orang tuanya! Gapapa, yang dimarahin dia saja, yang lain tidak…
Oh iya, juga ikut klub setiap akhir pekan (dulu Indonesia Muda di Surabaya).
Suka bulu tangkis? Ikut Djarum Surabaya tiga tahun, dari pembibitan sampai pembinaan, dan punya koleksi raket dari berbagai merek.
Bulu tangkis juga salah satu alasan masuk SMPN 12 Surabaya dulu, karena punya aula/hall yang berisi beberapa lapangan bulu tangkis. Ironisnya, saat pemilihan ekstrakurikuler, saya malah tidak boleh ikut bulu tangkis dan disuruh ikut marching band!
Ceritanya panjang… Sangat aneh mengingat saya gak bakat musik.
SMPN 12 pula yang mengakhiri kiprah saya di Djarum, karena harus masuk sore dan tidak bisa lagi latihan.
Hobi lain? Pokoknya permainan apa pun pernah saya jalani sampai mentok. Main patil lele (anak-anak sekarang mungkin tidak tahu ini apa) pun pernah saya jalani seharian dengan skor sampai ribuan per anak!
Extreme endurance!
Baca buku pun selalu tamat. Waktu SD kelas 1 sudah tamat Trio Detektif, Lima Sekawan, dan lain-lain. Kelas 2 SD bahkan sudah dibelikan Agatha Christie, Sidney Sheldon, dan buku-buku karya pujangga lama/baru Indonesia (terlalu dini? Entahlah, tanya dan salahkan abah wkwkwkwk…).
Dari semua hobi yang saya jalani (kok banyak ya?), Formula 1 jadi yang paling serius, yang paling total, yang paling jauh.
Kalau diingat-ingat, awalnya dari hobi main Tamiya 4WD waktu SMP juga. Suka merakit mobilnya, menggulung sendiri dinamonya, lalu pergi ke mana-mana bersama ’’tim’’ dan ikut balapan.
Tamiya punya banyak varian model kit, antara lain, mobil-mobil Formula 1. Dan selalu diiringi buku panduan, yang di bagian depannya dilengkapi deskripsi sejarah mobil dan fitur-fiturnya.
Beli satu, baca, selesai dirakit. Beli lagi, baca, selesai dirakit. Begitu seterusnya.
Waktu lebih kecil lagi dulu juga suka Lego. Tapi, karena orang tua belum punya banyak uang, jadi ya gak punya banyak Lego.
Zaman saya mulai suka merakit model F1 itu belum ada internet. Berita di koran/tabloid pun masih sangat minim. Di Jawa Pos beritanya sangat pendek, kurang lengkap. Di Tabloid Bola, saya harus menunggu sampai hari Kamis. Tulisan Mas Arief Kurniawan di Bola dulu favorit saya, dan sejak SMP itu saya punya cita-cita kelak menjadi penulis F1 yang lebih jago dari beliau (tidak apa-apa, kita sekarang seharusnya sudah jadi teman baik wkwkwkwk…).
Pada beberapa kesempatan, orang tua membawakan majalah F1 dari luar negeri. Saya selalu baca sampai tamat halaman depan sampai belakang.
Dan ketika saya lulus SMP, ikut pertukaran pelajar ke Amerika, saya rajin ke toko buku untuk beli majalah, buku, dan segala hal yang berkaitan dengan F1.
Karena jam di Amerika, kalau ada balapan F1, saya selalu bangun pukul 4 pagi untuk menonton siaran langsungnya.
Yada yada yada… Berlanjut ke menulis di Jawa Pos secara berkala, secara rutin. Usia 18 tahun, urus visa Kanada sendiri, terbang ke Montreal, Kanada, nonton F1 untuk kali pertama secara langsung di Sirkuit Gilles Villeneuve.
Yada yada yada… Tulisan jadi makin matang, diajak jadi komentator siaran langsung nonton bareng di Surabaya, makin rutin liputan langsung F1, dan kemudian berlanjut jadi komentator F1 di televisi selama lebih dari sepuluh tahun (2000–2010) di RCTI, TPI, dan Global TV.
Semua gara-gara waktu kecil disuruh total dalam menjalani hobi, dan main Tamiya!
Mungkin ’’karir’’ saya di F1 ya habis di situ. Karena langkah selanjutnya adalah memiliki tim sendiri, hahahahaha… Enggak deh!
’’Sisa-sisa’’ hobi F1 saya itu masih memadati ruang hobi saya. Ada ribuan miniatur mobil F1, ratusan buku F1, mungkin ribuan majalah F1, dan lain sebagainya…
Sejak SMP, semua masih terjaga rapi. Bersama koleksi sepatu basket, mainan Star Wars, plus hobi yang terbaru: Koleksi sepeda balap.
***
Mempertahankan hobi, itu masalah lain lagi. Walau tidak semua hobi saya jalani secara intens, saya tetap menjaga ’’perasaan’’ agar tidak terlalu jauh dengan semuanya. Berusaha mengikuti walau tidak seekstrem dulu.
Bagaimanapun, hobi-hobi itu telah memberikan warna. Dari semuanya kita dapat sesuatu, dapat inspirasi, dapat kesegaran, dapat motivasi untuk terus melangkah.
Kasihan orang-orang yang tidak punya hobi, yang tidak mau menyeriusi hobi, apa pun hobinya.
Kebetulan, dunia kerja saya (media) merupakan dunia di mana mesinnya adalah orang. Semakin dinamis orangnya, semakin dinamis pula karya dan produk akhirnya.
Tapi, saya rasa, apa pun dunia kerjanya, kurang lebih sama. Kalau orang-orangnya dinamis (dan punya hobi serius), lingkungan kerjanya ikut jadi dinamis…
Alangkah boring-nya sebuah kantor/tempat kerja kalau orang-orangnya boring juga wkwkwkwkk…
Sori, tema minggu ini mungkin kurang serius. Minggu depan serius lagi deh… Promise! (*)